Secangkir teh pahit
Ini bukan
cerita salafussaleh. Tapi bolehlah ikut nampang di sini. Kisah ini terjadi saat
saya berkunjung ke rumah seorang teman yang tinggal di desa. Ia belum lama menikah
dan istrinya adalah seorang lulusan universitas dan sudah lama tinggal di kota.
Wanita yang pintar tentunya. Tapi, itu dia, ia tak cukup pandai memasak.
Jangankan masak yang rumit-rumit ala bumbu desa, membuat minuman saja belum
cukup lihai. Nah, ceritanya, ketika saya berkunjung ke sana, teman saya meminta
istrinya untuk menyiapkan makanan dan minuman.
Ketika kami
sedang asyik mengobrol, terdengar suara panggilan istrinya, makanan dan minuman
sudah siap dihidangkan. Sambil mengobrol, kami mulai mencicipi hidangan yang
tersedia. Saya mencicipi teh yang disediakan. Dilihat dari penampakannya saja,
maaf, kurang menarik. Begitu bening, jauh dari kental dan tidak jelas antara
panas atau dingin. Tapi saya tetap meminumnya. Entah mungkin mengetahui perasaan
saya, teman saya bergumam’
“Ayo, apapun
rasanya, kamu harus habiskan”
“Siap!”, kata
saya. Saya jadi tidak enak sendiri. Dan berusaha mengalihkan pembicaraan pada
hal-hal lain.
Tapi mau tak
mau, perhatian saya berikutnya tertuju pada makanan yang dihidangkan. Dilihat
dari bentuknya, si pembuat tampaknya bermaksud membuat semacam bakwan jagung.
Tapi komposisinya agak aneh. Antara sayur, tepung dan jagungnya tak beraturan.
Ini belum rasanya lho ya. Dan benar saja, begitu saya mencoba mencicipinya,
rasanya tidak karuan. Untung saja saya datang dalam kondisi lapar, sehingga
rasa lapar bisa mengalahkan kerancuan rasa hidangan itu.
Jujur saja,
saya sudah berniat untuk mengajak teman saya makan di luar. Dengan alasan cari
angin atau sejenisnya. Tapi belum sempat saya menyampaikan keinginan saya,
teman saya sudah terlebih dahulu menghidangkan makan besar. Saya... tidak tega
untuk menceritakan menunya. Yang pasti, rasa lapar saya kembali mengalahkan
kerewelan saya tentang rasanya. Hidangan makan siang itu saya sikat habis
bersama dengan si empunya rumah.
Ketika kami
melanjutkan obrolan kami, saya melihat si nyonya rumah mengemasi bekas makanan
kami, dan jujur saja, saya lihat ada senyum merekah di wajahnya. Lega sekali
tampaknya.
Waktu berlalu
dan beberapa bulan setelah peristiwa itu saya sudah tidak pernah bertemu lagi
dengan teman saya itu. Sampai tiba-tiba pada suatu hari, saya iseng mencari
info tentangnya di media sosial. Saya berhasil menemukannya. ARDI WIDIANTO,
NINA CATERING. Ha? Catering? Tidak salah baca? Ah, paling Cuma penyalur kali.
Pikir saya. Tapi saya tetap penasaran. Kok pede sekali usaha katering,
dengan kualitas masakan sedemikian?
Singkat
cerita, dengan niat silaturahmi, saya sengaja mengunjungi rumah teman saya di
desa itu. Dan betapa terkejutnya saya ketika melihat tampilan rumahnya sudah
berubah. Rupanya bisnis kateringnya bukan hoaks ala sosial media.
Beberapa karyawannya tampak sibuk, sementara si empunya rumah menjamu saya di
ruang tamu.
“Jika ingat
apa yang disuguhkan padamu waktu itu, kamu pasti tak percaya bahwa sekarang
kami bisnis katering”, kata teman saya, seperti bisa membaca perasaan saya.
“Sejujurnya
iya”, kata saya jujur, sambil menyeruput es teh yang ... nikmat sekali. Eh, jangan lupa, gorengannya
mantap sekali. Teman saya kemudian bercerita, yang seolah olah mirip trainer
motivasi.
“Sekian lama
istriku murung, merasa tak pernah mampu memasak dengan baik. Padahal di desa,
nilai wanita itu tergantung pada cita rasa masakannya”. Ah, saya pikir ia agak
berlebihan. Tapi saya diam saja.
“Tapi aku
selalu memotivasinya, salah satunya dengan cara tak pernah komplain, dan selalu
menghabiskan hidangannya. Jika kau ingat, aku minta waktu itu agar kau habiskan
makanan dan minuman yang terhidang. Ternyata itu membuatnya semakin percaya
diri. Dia yakin bahwa dia bisa. Dan belakangan, cara motivasi ini berhasil.
Dengan terus mendorongnya, ia jadi makin senang memasak, jadi hobi, dan
akhirnya...jadi sumber rejeki”
Luar biasa!
Wahai para
pasutri, sebaiknya camkan ini betul betul. Mengkomplain kekeurangan-kekurangan
yang ada pada pasangan tidak pernah menjadi solusi yang baik. Sebaliknya,
dorongan dan sikap positif terhadap kekurangan pasangan akan merubah kekurangannya
menjadi kelebihan, dan bahkan potensi istimewa!
Comments
Post a Comment