Sebelum Galau Itu Dilarang
Tak
semua galau itu bermakna negatif. Bahkan kita bisa mengelola rasa galau menjadi
energi yang positif. Faktanya, dalam
bahasa arab, diantara kata yang paling mendekati makna galau adalah hammun¸yang
itu bisa multi persepsi, positif maupun negatif. Tak muda, tak tua, tak
kaya,tak papa, semua mesti tahu rasanya dihampiri kegelisahan, dengan atau
tanpa sebab, dengan level dan stadium yang beragam. Bukan bermaksud
mengada-ada, tapi ada baiknya mempelajari manajemen galau. Supaya rasa yang
menghampir itu tak lantas menyia-nyiakan energi positif kita, larut dalam
ketidak jelasan rasa dan pikiran. Tips berikut bolehlah disimak.
Pertama, kita musti tahu dari mana galau itu
berasal. Jangan terkejut kalau mendengar bahwa galau itu pesan kebaikan Allah
SWT kepada kita. Telisik sabda baginda,
"Tidaklah menimpa seorang muslim berupa
kelelahan, rasa sakit, kesusahan, kesedihan, gangguan dan kegalauan hingga duri
yang menancap kecuali Allah ampuni kesalahan-kesalahannya karenanya. (Muttafaq
`alaih)
Jelas?
Dari mana, untuk siapa dan untuk apa sebenarnya galau itu? Jelas : dari Allah,
untuk kita, agar terhapus dosa-dosa kita. Tapi kita ingin melihatnya dari sisi
ini : jika merasa galau hendaklah
evaluasi diri. Berarti dosa kita masih bertumpuk. Sebab memang fitrahnya
begitu; bahwa orang yang berbuat dosa akan diliputi rasa bersalah. Rasa
bersalah ini pada gilirannya mewariskan kegalauan. Tapi,setidaknya jika kita
memahami proses ini, manakala tiba masanya, bolehlah kita tersenyum sembari
menengadah : selamat datang galau,
kusambut kau dengan istighfar. Lihat rumus ini dengan akurat membimbing kita;
مَنْ لَزِمَ الِاسْتِغْفَارَ جَعَلَ اللَّهُ
لَهُ مِنْ كُلِّ هَمٍّ فَرَجًا
Barangsiapa
melanggengkan istighfar, Allah jadikan untuknya pada setiap kegalauan ada penawarnya…(HR Ibnu
Majah)
Kedua, dengan demikian, maka jelaslah tahap
berikutnya, yakni mencari penawar yang
tepat. Secara prinsip penawar ini adalah mengembalikan kegalauan pada
sumbernya, Allah SWT Sang Maha Pengirim
galau. Kalau anda pernah membaca, baginda Nabi tak sabar menunggu waktu shalat,
itu salah satunya karena beliau ingin segera bertemu penawar galaunya. Secara
teknis kita bisa memilih sendiri, apakah melalui rangkaian amal sholih yang melelahkan,
atau bait-bait istighfar tak terhitung, atau menangis di malam sepi, atau yang
lainnya. Tidakkah kita mendengar kisah, Umar bin Khothob, yang terkenal garang
itu, memiliki serupa goresan di pipi, akibat jalur bekas air mata yang tak bisa
hilang?
Ketiga , meningkatkan level kegalauan. Ada-ada
saja. Coba perhatikan. Bahkan para Nabi sering dikisahkan termenung dalam
kegalauan. Nabi Nuh AS curhat sesurat penuh menumpahkan kegalauannya.
Nabi Musa AS sampai akhir hayatnya masih didera galau tak sudah. Bahkan baginda
tercinta kita, justru menerima wahyu di puncak kegalauan. Tapi lihat, kegalauan
para nabi sering karena memikirkan nasib umatnya, bukan karena kepentingan
pribadinya. Sungguh, ini kegalauan yang berkualitas. Jadi mulailah memetakan kegelisahan sekaligus
mengidentifikasi penyebab kegalauan.
Perkara apa saja yang biasa mewariskan
kegalauan diri? Jika ianya ternyata problem-problem pribadi, itu merupakan
peringatan dari Allah, bisa jadi dosa-dosa kita yang masih berderet, sekaligus
pertanda, rupanya hidup kita masih terlampau egois. Bersyukurlah, dengan galau
itu semoga dosa-dosa dihapus. Tapi hendaknya mulai berfikir untuk sampai ke maqam
ini : saat kegalauan ini disebabkan karena memikirkan problematika ummat.
Kalau sudah begitu, anda adalah pewaris para Nabi yang tinggal sejengkal
jaraknya dengan mereka.
Comments
Post a Comment